Mencermati sejarah penyebaran Injil di sebuah kota kecil tentu saja menarik. Apalagi, melihat dari perkembangan gereja mula - mula yang konon sering diperbincangkan tumbuh dari kota ke pelosok desa. Tak terkecuali dengan perkembangan gereja di kota Dampit. Salah satunya ialah Grejo Kristen Jawi Wetan (GKJW) Dampit. Siapa sangka jika pada awal pendirian gereja menyimpan cerita perjuangan yang pelik. Seperti apa kisahnya?
Sejak zaman Belanda, telah ada orang - orang yang menganut agama Kristen di Dampit. Mereka merupakan karyawan dan karyawati perkebunan kopi di Sumber Gesing, desa Bumirejo. Hingga pada tahun 1932, Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat ( GPIB) mendirikan gereja yang lokasinya adalah tanah yang sekarang ini di atasnya berdiri gedung gereja induk GKJW Pasamuan Dampit.
Beberapa tahun berselang, datanglah orang - orang Kristen dari Swaru, Bantur, Sitiarjo, dan Tambakasri. Dengan semakin bertambahnya jumlah warga yakni sekitar 10 keluarga, maka mereka mendapatkan pelayanan kerohanian dari GKJW Swaru bernama G. I Purnoto, dibantu Bpk Sutomo. Persekutuan mereka dinamakan dengan status warga Marenca.
Hingga waktu beralih pada masa pendudukan Jepang ( 1942 - 1945), dimana pada waktu itu terjadi pembumihangusan gedung gereja di Indonesia. Gedung gereja GPIB ikut terbakar. Kejadian ini membuat jumlah keluarga kristen di Dampit berkurang. Adapun yang masih bertahan antara lain keluarga Ibu Rr Supinah, keluarga Bpk Dwi Atmojo, keluarga Bpk Mursidi, dan keluarga Bpk Suwarjo Karto Tomoyo. Keluarga - keluarga ini masih dilayani oleh Bpk Nursaid Seco ( Pendeta GKJW Jemaat Swaru) hingga sampai tahun 1956. Pada tahun yang sama Sidang Majelis Agung menetapkan Pendewasaan Jemaat yang dinamakan Bethesda. Jemaat ini mencakup wilayah Turen, Gedog Wetan, Pojok, Dampit, Ampelgading, Lebakroto, Pronojiwo, dan Warga Marenca di Supit Urang. Pada saat itu, pdt Murjo dipercaya untuk mengembalakan Jemaat Bethesda
Kemudian, pada tahun 1964, wilayah Jemaat Betheda didewasakan per jemaat. Seperti Jemaat Turen yang mencakup wilayah Turen , Gedog Wetan, Pojok, Majang Tengah dan Dampit. Nah, saat itu jemaat ini dilayani oleh Pendeta Alex Pranata yang juga bertugas sebagai pekabar Injil.
Namun, setahun setelahnya peristiwa pemberontakan G30S terjadi, beberapa pemuda dan pemudi pepanthan Dampit ikut tergerak dalam Pekabaran Injil. Mereka adalah Sdr Restomo Daud, Sdr Soeprihadi Jonathan, Sdr M. Lumban Raja, Sdr, Tcipto Wibowo, Srd Sudjatmoko, Sdr Mustiko, Sdr Susilowati, Sdr Kawarti, dan Bpk Suwarjo Pada saat itu diketahui banyak warga meminta dibaptis dan masuk Kristen. Adapun wilayah yang menjadi tempat pekabaran Injil meliputi Ubalan, Amadanom, Bumirejo, Kalibakar dan Sumbergesing.
Nah, hingga akhirnya tepat pada tanggal 1 Juni 1969, Pepanthan Dampit ditetapkan menjadi jemaat dewasa dengan nama GKJW Dampit. Wilayah pelayanan GKJW Jemaat Dampit meliputi Induk Dampit, Pepantthan Ubalan, Pepanthan Amadanom, Pepanthan Bumirejo, Pepanthan Srimulyo, Pepanthan Sumbergesing dan Pepanthan Kalibakar.
Lalu seperti apakah sejarah perkembangan gereja di area pepanthan?
1. Perkembangan Pepanthan Ubalan
Masyarakat Pepanthan Ubalan , Umbulrejo, dan Dawuhan yang terletak di desa Pamotan pada awalnya menganut aliran kebatinan dan ngelmu sejati. Karena situasi politik pada masa itu, beberapa orang dari wilayah tersebut berminat untuk menganut agama Kristen. Menindaklanjuti keinginan tersebut, diambil sebuah kebijakan bahwa mereka yang berminat menganut agama Kristen agar mengikuti katekisasi dan kebaktian di gereja Induk Dampit. Orang - orang tersebut ialah Sdr Kuwadi, Sdr Syamsuri, Sdr Saniman Ismoyo, Sdr Sumaji, Sdr Saruji, Sdr Kasmadi ( Lamidi) dan Sdr Sriyati ( Sucik). Mereka dibaptis pada 28 Mei 1967. Tak begitu lama setelah peristiwa baptisan, dibukalah Pos PI (Pekabaran Injil) dan sekaligus diselenggarakan kebaktian Minggu yang bertempat di rumah Bpk Atmodihardjo alias Bpk Timbul.
Pertambahan jumlah warga Jemaat semkin pesat. Bahkan beberapa tokoh masyarakat Ubalan yang turut menganut agama Kristen antara lain Bpk Partoradjak ( Kades Pamotan , Bpk Atmodihardjo ( Tokoh Kebatinan), Bpk Somopawiro ( Tokoh Kebatinan) , Bpk Pawiro Kabul (Tokoh Kebatinan), Bpk Sumardi (Tokoh Kebatinan) , Bpk Purwidihardjo ( Tokoh Kebatinan), dan Bpk Adam ( Tokoh Kebatinan). Mereka ini juga sekaligus beserta keluarganya.
2. Perkembangan Jemaat Di Pepanthan Amadanom
Warga kristen di wilayah Amadanom mulai nampak sejak diadakannya kebaktian rutin di rumah Bpk. Ponidin, sekitar tahun 1967. Adapun mereka yang aktif anatar lain Ibu Supinah, Bpk Ponidin , Ibu Muntik, Bpk Rebo, Bpk Karimun, Bpk Suliadi , Bpk Somo, Ibu Panem, dan Ibu Ngatiyem. Pada masa oelayanan PDt Soerjo, Amadanom disarankan menjadi pepanthan karena jumlah warganya sudah lebih dari 5 KK. Kemudian pada tahun 1979, di atas bidang tanah hibah dari keluarga Bpk Rebo, didirikanlah gedung gereja. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Bpk Buari (Kepala Desa Amadanom). Seperti diketahui, pada saat itu jumlah warga telah mencapai 30 KK. Tak hanya itu, perkembangan kekristenan di pepanthan Amadanom juga merupakan buah dari pelayanan LPMI (Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia). Bahkan, mereka juga membantu dalam penggalangan dana untuk pembangunan gereja di Amadanom.
3. Perkembangan Jemaat di Pepanthan Bumirejo
Pelayanan dilakukan oleh tokoh Kristen seperti Bpk Muriyadi yang saat itu menjadi sekretaris desa. Kemudian, ada;pula Bpk Ponimin Sugito, Bpk Hadisiswono, beserta dengan beberapa tokoh muda.
4. Perkembangan Jemaat di Pepanthan Sumbergesing
Pada awalnya, Sumbergesing merupakan wilayah perkebunan milik pemerintah. Seorang pengawas perkebunan ( sinder) bernama Bpk Lukas Utomo menjadi salah satu tokoh Kristen di desa ini. Selain itu, adapula Bpk Sutaji, seorang guru yang ikut turut mengembangkan kekristenan di Sumbergesing.
5. Perkembangan Jemaat di Pepanthan Kalibakar
Kalibakar adalah wilayah yang berada di teritorial kecamatan Tirtoyudo. Namun, karena jangkauan transportasi yang lebih mudah dari Dampit, maka warga memilih gabung dengan Jemaat Dampit. Adapun tokoh - tokoh yang tercatat itu yakni Bpk Suwari, Bpk Ponidi, dan Bpk Budi.
6. Perkembangan Jemaat di Pepanthan Srimulyo
Tumbuh dan berkembangnya kekristenan di Srimulyo merupakan buah pelayanan Pdt Alex Pranta. Semula, pepanthan ini merupakan bagian dari Jemaat Purwosari, Jengger. Namun, karena jangkauan komunikasi dan transportasi lebih mudah dari Dampit, maka mereka memilih bergabung. Adapun tokoh - tokoh yang ikut andil dalam pelayanan dan penyebaran yakni Bpk Niti Parni, Bpk Basuki, Bpk Mistar, Bpk Suwito, Bpk Paijan, Ibu Sarni dan beberapa nama lainnya.
7. Warga Marenca Ngelak
Wilayah Ngelak berada sekitar 5 km arah timur laut dari pusat kota Dampit. Persisisearah menuju ke Jemaat Wonoagung. Beberapa keluarga yang berada di wilayah ini antara lain Bpk Sarjo, keluarga Subandil,keluarga Bpk Alber Rungkat, serta keluarga Bpk Atmo Boiran. Dan sekarang tinggal ibu Mulyati beserta dua anaknya yang sudah berkeluarga.
Sumber data : Buku Program Jemaat GKJW Dampit